12.6.24

Cerita Rakyat dari Toraja : Kucing Raja - Serre’ Datu [versi Bahasa Indonesia]




category : Cerita Rakyat


 


Tales of Serre' Datu (English version) Uleleanna Serre'Datu (Bahasa Toraja)

 

Ada seorang kaya memiliki seekor  kucing raja, di kalangan masyarakat Toraja kucing jenis ini disebut dengan Serre’ Datu. Suatu hari orang kaya ini berkata kepada kucingnya , “Tinggallah menjaga rumah dengan baik, aku akan pergi mencari ikan untuk lauk kita nanti”. Ketika sore menjelang, dia pulang ke rumahnya membawa sekeranjang  ikan besar ,  lalu diletakkannya keranjang itu di lantai. Serre’ Datu yang mencium bau amis ikan lantas mendekati keranjang tersebut dan mengambil seekor ikan dari dalam keranjang itu dan membawanya menjauh. Melihat hal tersebut orang kaya itu mengejarnya dan berhasil merebut ikan dari mulut kucingnya dan membawanya kembali ke keranjang ikan. Kemudian  dia mulai membersihkan ikan-ikan tangkapannya tadi untuk dimasak. Akan tetapi tidak lama berselang, tanpa sepengetahuannya  Serre’ Datu kembali datang mengambil seekor ikan yang sudah dibersihkan. Maka murkalah dia. Dikejarnya kembali kucing itu, setelah ditangkap, diambilnya kayu bakar yang sedang menyala di tungku dapur dibakarnya kumis Serre’ Datu dengan api , sehingga mulut  Serre’ Datu menjadi  melepuh. Karena kesakitan pergilah ia dari situ ke belakang dapur.



Ketika tiba waktunya makan, orang  kaya ini memanggil kucingnya yang berdiam diri di belakang dapur, akan tetapi  Serre’ Datu tidak mau datang menghampirinya. Beberapa kali dia mencoba memanggil kucingnya, akan tetapi tetap saja si kucing duduk berdiam diri dibelakang dapur, marah karena kumis dan mulutnya  sudah dibakar api oleh tuannya

Saat orang kaya itu sudah beranjak tidur, melompatlah  Serre’ Datu ke atas rak penyimpanan barang, Di sana, ia menjatuhkan Baka Bua, sejenis keranjang yang digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga. Di dalam Baka Bua terdapat jimat, kain berharga, keris, kalung dan gelang emas – semua barang mahal yang ada di rumah. Serre' Datu kemudian berbicara kepada benda-benda tersebut sambil berkata, "Kalian semua tinggallah di rumah ini. Saya akan pergi karena saya sudah dianiaya tadi. Mulut dan kumis saya terbakar oleh api." Mengejutkan bahwa seluruh isi dari baka bua berujar balik kepadanya , “Siapa pula yang akan tinggal di rumah ini kalau kamu sudah pergi, kami tidak mau menjadi  tempat bersarang tikus, kami akan ikut denganmu.”

Tak lama kemudian turunlah kucing itu ke lantai mendapati  La’bo’ Penai yaitu jenis senjata parang yang dipakai untuk berperang, gagangnya dihias dengan rumbai-rumbai  yang indah dan menarik, dia berkata, “Tinggallah engkau La’bo’ , aku akan pergi”. Dan anehnya seperti semua isi Baka bua tadi, La’bo’ Penai juga menjawabnya, “Aku pun tak mau tinggal di rumah ini kalau kamu pergi, aku akan ikut bersamamu, Aku tidak ingin hiasan pada peganganku dirusak oleh tikus”.



 Serre’ Datu kemudian keluar dari rumah menuju lumbung padi dan melompat ke atas mendapatkan berkas-berkas padi di dalamnya yang  tersimpan memenuhi lumbung-lumbung tersebut, katanya “Tinggalah kalian semua, aku akan pergi dari tempat ini”. Dan hal yang sama pun terjadi juga, berkas-berkas padi itu berdesir dan berbicara serempak, “Kami semua akan ikut denganmu, kami tidak mau menjadi tempat bersarang tikus, dan dimakan habis oleh tikus-tikus itu”.

Setelah itu, pergilah  Serre’ Datu menemui kerbau di dalam kandangnya. katanya lagi “Tinggallah engkau kerbau, aku akan pergi dari sini, aku sudah dianiaya tadi. Kerbau bergemuruh menjawab, “Kami pun akan ikut denganmu, kami tidak mau diperlakukan sama denganmu dan dikuliti oleh tikus nantinya”.

Dekat dengan kandang kerbau adalah kandang babi,  Serre’ Datu itupun berjalan ke sana, menemui mereka, katanya “Tinggalah engkau babi, aku akan pergi , aku sudah dianiaya ”. Babi-babi itu menjawab dengan memekik, “Siapa juga yang mau tinggal disini, kami akan ikut denganmu, kami takut  tikus-tikus nanti akan datang mencabut habis bulu-bulu kami jika kamu sudah pergi”

Serre' Datu mendatangi kandang babi

 

Terakhir  Serre’ Datu itu menemui ayam-ayam di kandangnya, katanya, “Aku akan pergi dari sini, kalian tinggallah dengan baik, ayam!” tetapi ayam-ayam itu berkata kepadanya, “kami tidak mau tinggal menjadi mainan tikus, kami takut diloncati tikus, kami akan ikut denganmu ”

Serre' Datu di kandang Ayam

Maka berkumpullah mereka dan tak lama kemudian berangkatlah semuanya meninggalkan tempat itu.

Dipimpin oleh  Serre’ Datu, iring-iringan aneh meninggalkan kediaman orang kaya itu. Sederet berkas padi menyusul, beserta semua benda berharga dan hewan peliharaan di rumah.

Serre' Datu memimpin rombongannya

Setelah menempuh perjalanan jauh, mereka menemukan sebuah rumah dimana pemiliknya dengan marah melemparkan baka bua yang penuh dengan harta bendanya. Isi yang berserakan mendarat di dekat kelompok Serre' Datu, maka ikut pulalah benda-benda berharga tersebut mengikuti rombongan  Serre’ Datu.

Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan seorang pria yang sedang memberi makan anjingnya. Namun, pria itu juga memukul anjing itu, menyebabkan anjing itu berjuang melepaskan diri dari kekangannya karena kesakitan. Anjing itu melarikan diri menuju kelompok Serre' Datu dan turut ikut dalam rombongan tersebut

Lalu mereka menjumpai orang yang sedang memberi makan ayam peliharaannya, akan tetapi sambil dilemparinya ayam-ayamnya dengan batu. Ayam-ayam itu lalu pergi, dan turut pula mengikuti  rombongan  Serre’ Datu.

Belakangan, mereka bertemu dengan seseorang yang, saat sedang memberi makan kerbaunya, juga sedang memukul mulut kerbau tersebut. Kerbau yang dianiaya, merasakan peluang untuk hidup lebih baik, melepaskan diri dan mengikuti kelompok Serre' Datu.

Saat Serre' Datu dan rombongannya yang semakin bertambah banyak meneruskan perjalanannya, mereka semua mengalami transformasi yang luar biasa, mengubah bentuk dan penampilan mereka hingga menyerupai manusia. 

Tak berapa lama berjalan mereka kemudian mendapati dua anak gadis yang sudah yatim piatu,  sementara mengumpullkan banni’ atau biji menir yaitu sisa-sisa tampian beras  di rumah seorang kaya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah kedua gadis itu.  Orang kaya ini memiliki dua anak laki-laki yang seumuran dengan kedua gadis itu.



Kedua gadis muda itu kembali ke rumah dengan membawa menir-banni’ hasil pungutan mereka yang sedikit, tanpa menyadari bahwa sekelompok orang yang mengikuti mereka adalah rombongan Serre' Datu yang menyamar.

Tiba di rumah, mereka baru melihat banyak orang  yang berjalan di belakang mengikuti  dan berhenti juga di depan rumah mereka. Keduanya menyangka  sekelompok orang itu adalah pengembara dan kebetulan melewati rumah mereka. Berkatalah keduanya kepada orang-orang itu, “Tuan-tuan sekalian, masuklah ke mari, jangan di luar saja”.  Pemimpin kelompok itu yang adalah  Serre’ Datu menyahut, “Terima kasih, kami hanya beristirahat sebentar, dan akan segera melanjutkan perjalanan”. Kata gadis itu, “Biarlah kita membuat bubur nasi untuk dimakan sebelum kalian melanjutkan perjalanan”.   Serre’ Datu  berkata , ” Apakah menir 'banni' yang kamu kumpulkan cukup untuk membuat bubur bagi kita semua?". Gadis itu lalu berkata, “Jumlah kalian semuanya ada berapa?” . Serre' Datu, mencoba menyatakan banyaknya jumlah mereka, “tiga-enam, tiga-tujuh, sepuluh-tujuh-sembilan”.  Gadis itu dengan cerdik menafsirkan jawaban samarnya, berkata,“Apakah kita akan lebih banyak dari pada jumlah biji dari nasi?”

Mendengar perkataan gadis itu, trenyuhlah hati Serre’ Datu bersama semua anggota kelompoknya.   Berkatalah  Serre’ Datu, “Kami semua yang ada di sini, akan tinggal bersama dengan kalian berdua mulai saat ini”. Kedua gadis itu menjadi kaget, tak menyangka mendapat tanggapan yang sedemikian rupa. Lanjut  Serre’ Datu menyimpulkan perkataannya, “Tiga malam lagi, kalian harus melakukan ritual sujud syukur berterima kasih oleh karena kami semua akan kembali ke keadaan semula dan menempati tempat kami masing-masing menurut fungsinya dan tinggal bersama dengan kalian ”

Kata  Serre’ Datu, “Aku akan berada di dapur”. Benda-benda berharga rumah berkata, “Kami akan menempati keranjang penyimpanan harta benda”, demikian juga bagi anjing, ayam, kerbau, babi, padi, serta lain-lain bentuk yang ikut dalam rombongan itu, menetapkan tempat yang akan mereka tempati. Tak lama kemudian berubah wujudlah orang-orang tadi dan tinggal bersama dengan kedua gadis yatim piatu itu dan mereka menempati tempat masing-masing dengan semestinya.



Maka dengan cepat kedua gadis yatim piatu yang sebelumnya hidup sengsara menjadi kaya raya. Pada akhirnya masing-masing  menikah dengan anak-anak lelaki dari orang kaya yang menjadi tetangga mereka. Lalu mereka hidup berdampingan menempati rumah masing-masing. Semakin bertambahlah jumlah kekayaan mereka. Akan tetapi hal itu tidak membuat mereka menjadi tinggi hati, melainkan tetap mengingat-ingat akan hal-hal baik yang telah terjadi pada mereka berdua, serta tetap mengasihi dan merawat dengan baik segala sesuatu yang ada pada mereka  yang mereka miliki.

Kisah ini memupuk rasa cinta dan hormat terhadap kucing, karena mereka dipandang sebagai simbol kemakmuran.Sehingga dalam kehidupan masyarakat, biasa dilantunkan orang dengan kalimat, “Kucinglah batang akar harta bendamu, mengisi penuh keranjang hartamu,  memanggil harta benda datang padamu, ia yang memanggil berkat berlimpah dari segala penjuru dari tempat orang-orang  yang jauh”.

 

Diterjemahkan oleh admin ACTblog dari cerita asli berbahasa Toraja berjudul “Uleleanna Serre’ Datu”.

 

Share :

Uleleanna Serre' Datu



category : Cerita Rakyat



Tales of Serre' Datu (English version) Cerita Rakyat Serre'Datu (Bahasa Indonesia)

 

Den misa' to sugi' unnampui serre' datu. Den sangallo na ma'kada tu to sugi' lako serre'na nakua: “Torromoko ammu manda'i pa'kampamu ku malepa undaka' bale ta pa'kandiananni.” Ia tonna makaroen sulemi umbaa bale sangburia' na patorroi diong sali. Ma'dondomi sae tu serre' datu unnalai tu bale misa'. Naula'mi naalai dio mai tu bale. Mangka to na pesissikimi tu bale, na tollo'i. Pakalan saeomi na ala serre' datu tu bale misa'. Naula'mi, na la'ka'i tu serre' datu anna durru'i api tu danggo'na anna mararang tu pudukna. Mallaimi te serre' lako leko' dapo'.

Ia tonna la kumandemo te puangna, natambaimi tu serre' datu dio mai leko' dapo', apa noka sae. Pempiran-piran ditambai apa tontong bang ma'dokko dio leko' dapo' belanna sengke tu penaanna mangka didurru' api.

Tonna mamma'mo tu puangna, mengkondongmi tu serre' datu langngan para anna dedek-dedekki tu Baka Bua nanii balo' lan sisola maa', gayang, rara', lola' sia mintu' eanan banua. Na pa'kadaimi serre' datu tu mentu' parea dao para nakua: “Torromokomi kamu. La malemo' aku belanna mangkamo' aku didurru' api sia puramo danggo'ku nakande api.” Mebalimi tu issinna Baka Bua kumua: “Minda lamorai torro napesserang balao. La male dukakan kami.”

Mengkalaomi tu serre' datu rokko sali nakua kuanni tu La'bo' Penai: “Torromoko iko la'bo', la malemo' aku.” Apa nakua La'bo' Penai: “Minda lamorai torro nabenga' balao. La male dukana' aku.”

Kendek omo langngan alang te serre' datu, nakuami lako Pare: “Torromoko iko bo'bo', la malemo' aku.” Nakuami tu Pare: “Minda la torro napesserang sia napura balao, la male dukakan kami.”

Maleomi te serre' datu ungkuan Tedong tama balana, kumua: “Torromoko iko, Tedong. La malemo' aku. Mangkamo' didurru' api.” Nakuami Tedong: “Minda la torro napebalulangi balao, la undi dukakan kami.”

Nakutanaiomi serre' tu Bai kumua: “Torromoko iko Bai, la malemo' aku. Mangkamo' dipa'dikki.” Nakuami Bai ma'kada: “Inda ia latorro nabu'bu'i balao tu bulunta.”


Napa'kadaiomi serre' datu tu Manuk, nakua: “Torromoko iko manuk, la laomo' aku.” Nakuami tu Manuk: “Minda latorro nakondongngi balao, la male dukakan kami.”




Sirampunmi sola nasang anna sangke'deran male.


Dolomi tu serre' datu anna sangundian tu pare sia muntu' parea sia patuoan dio boko'na. Ullambi'mi misa' banua nanii tau sengke sia untendang baka bua lako salian. Sangundianmi tu issinna baka bua unturu' serre' datu.

Ullambi'omi tu to umpakande asunna apa mukkun duka nabamba. Lussu'mi tu asu anna male unturu' serre' datu.

Nalambi'omi tu to umpakande manuk, apa mukkun duka naleba' batu. Undi omi tu manuk unturu' serre' datu.

Na lambi'omi tu tomarassan umpakande tedongna apa marassa duka nabamba tu kamorokna. Mallaimi tu tedong na undi unturu' serre' datu.

Marassan lumingka tu serre' datu sola sangsiturusanna, pakalan anna membali nasangmo tu rupanna susi tolino. Napatarru'i tu kalingkanna anna lambi' tu da'dua pia baine biungmo marassan ussaro banni' dio to sugi' sangbanuanna tu unnampui da'dua anak muane.

Sulemi te pia biung sola duai umbawa banni' lako to'banuanna, anna undi unturu' serre' datu sola solana. Tonna rampomo lako banuanna natiromi tu tau undi unturu'i. Ma'kadami sola duai nakua: “Lendu'komi mai, da' ammi dio bang salian.” Mebalimi tu serre' datu nakua: “La tarru' siakan, melayo bangrakan sattu'." Nakuami tinde pia biung: “Ta ma'kalembo' pissanpa mimane umpatarru' lalanmi.” Ma'kadaomi tu serre' datu nakua: “La silasa riki'ka tu banni' mi kalembo', anna buda-budakan sibaa?” Mebalimi tu pia biung nakua: “Pirarokomi sola nasang?” Mebalimi serre' datu, nakua: “Tallung annan, tallung pitu, sangpulo pitu kasera” (Kennanu nakua serre' datu kumua; Buda liu kan). Nakuami tu pia biung: “Kita raka la buda na lise'na bo'bo'.”

Masemi penaanna serre' datu sola sangsiturusanna urrangngi kadanna pia biung. Nakuami serre' datu: “Iate kami sola nasang, latorromokanni ussisolankomi.” Tiramban kapuami te pia biung sola duai. Naumpu'i serre' nakua: “Iake tallung bongipa la memala' komi ma'kurre sumanga' belanna pada la untorroikan torroan malesoki la ussisolan komi.”

Nakua serre' datu: “La diona' aku to' dapo'.” Ma'kada eanan banua: “La lankan kami baka bua.” Susi dukato tu asu, manuk, tedong, bai, pare sia senga'-senga'na pada umpaka inan natorroi. Pakalan pada umporupamo rupanna tu serre' datu sola sangsiturusanna anna torro sisola te pia biung.

Sugi' sangattu'mi te pia biung makario-rio. Katampakanna ia te pia baine sola duai sibali tu pia muane anakna to sugi' nasisangbanuan simisaran. Sakerangngan-rangngannami tu kasugiranna. Apa tae' na pamadao penaai sangadinna tontong nakilalai tu apa mangka dadi, sia tontong napakaboro' sia nakananna'i tu apa den dio kalena.

Iamoto anna randuk tau umpakaboro'i tu serre' belanna disangan garonto'na eanan, sia biasa diposengo-sengo dikua : Serre'ri oto' na eanan, salimbanna baka bua, ia petamba eanan, peongli angge maritik, dio mai randan langi', to dio oloan uran.

 

Na ulelean sule : Admin ACT

Share :

Tales from Toraja: Serre' Datu, The King's Cat [English version]




 

category : Cerita Rakyat


Uleleanna Serre' Datu (Bahasa Toraja) Cerita Rakyat Serre'Datu (Bahasa Indonesia)

 

There was a rich man who had a king's cat, among the Toraja people this type of cat was called Serre' Datu. One day this rich man said to his cat, "Just look after the house well, I'll go look for fish for our side dishes later." When evening approached, he returned home carrying a large basket of fish, then put the basket on the floor. Serre' Datu, who smelled the fishy smell of the fish, then approached the basket, took a fish from the basket and took it away. Seeing this the rich man chased him and managed to snatch the fish from the cat's mouth and took it back to the fish basket. Then he started cleaning the fish he had caught earlier to cook. However, not long after, without his knowledge, Serre' Datu came back to take a fish that had been cleaned. So he was angry. He chased the cat again, after catching it, he took firewood that was burning in the kitchen stove and burned Serre' Datu's whiskers with fire, so that Serre' Datu's mouth became blistered. Because he was feel in pain he went from there to the back of the kitchen.

When it was time to eat, the rich man called to his cat, who was sitting quietly behind the kitchen. But Serre' Datu wouldn't come. The rich man tried calling his cat several times, but it still sat there quietly, angry because it was still in pain and its whiskers had been burned by the fire.

When the rich man went to bed, Serre' Datu leaped onto the goods storage rack. There, he knocked over the Baka Bua, a kind of basket used for storing valuables. Inside the Baka Bua were amulets, precious cloth, kerises, gold necklaces and bracelets – all the expensive possessions in the house. Serre' Datu then spoke to the objects, saying, "You all stay in this house. I'm leaving because I was abused earlier. My mouth and whiskers were burned by the fire." The entire contents of the Baka Bua, all the valuables, answered back! "Who else will live in this house if you leave?" they said. "We don't want it to become a nesting place for mice. We'll come with you!"

Not long after, the cat climbed down to the floor and found La'bo' Penai, a type of machete used in war. Its handle was decorated with beautiful, eye-catching tassels. "You stay, La'bo'," the cat said. "I'll go." But La'bo' Penai answered, "I don't want to stay in this house without you. I'll come with you. I wouldn't want the decorations on my handle to be ruined by rats."

Serre' Datu then left the house. He walked towards the rice barns and leaped up. Inside, he found mountains of sheaves of rice rising towards the ceiling. "You all stay," he said, "I'm leaving this place." Surprisingly, the sheaves of rice rustled and spoke in unison. "We will all come with you," they said. "We don't want to become a nesting place for mice and be eaten by them!"

After that, Serre' Datu went to meet the buffalo in its pen. "You stay, buffalo," he said. "I'm leaving this place. I was abused earlier." The buffalo rumbled a reply, "We will also come with you. We don't want to be treated the same way and be skinned by rats later."

Buffalo and Serre' Datu the cat

Close to the buffalo pen was a pig house. Serre' Datu walked there and met the pigs. "Stay, pigs," he said. "I'm leaving. I've been wronged." The pigs squealed in response, "Who wants to stay here? We'll come with you! We're afraid the rats will come and pull out our hair if you're gone."

Serre' Datu  the cat in Pig House


Finally, Serre' Datu spoke to the chickens in their coop. "I'm going to leave here," he said. "Stay well, chickens!" But the chickens clucked back, "We don't want to stay as playthings for mice! We're afraid of mice jumping on us. We will come with you!"

Serre' Datu the cat came to chickens coop


So they gathered together, and not long afterward, they all left that place.

 Led by Serre' Datu, a peculiar procession left the rich man's residence. A line of rice sheaves followed, along with all the valuable objects and the house pets.

Serre' Datu  the cat leads his group


After a long journey, they stumbled upon a house where the owner had angrily thrown out a basket overflowing with belongings. The scattered contents landed near Serre' Datu's group, and the displaced objects, seeking refuge, joined their company.

On their way, they encountered a man feeding his dog. However, the man was also hitting the dog, causing it to struggle free from its restraints in pain. The dog fled towards Serre' Datu's group and was welcomed into their growing band.

They witnessed another troubling scene: a man who was supposed to be feeding his chickens was instead throwing stones at them. The frightened chickens abandoned their cruel master and joined Serre' Datu's group as well.

Later, they came across someone who, while seemingly feeding his buffalo, was also hitting the animal in the mouth. The mistreated buffalo, sensing a chance for a better life, broke free and followed Serre' Datu's group.

As Serre' Datu and his growing entourage walked, they all underwent a remarkable transformation, changing their shapes and appearances to resemble humans. They continued their journey until they found two orphaned girls collecting "banni'" or groats, the remnants of rice trays, from the house of a wealthy man not far from their own home. This rich man, coincidentally, had two sons the same age as that the two girls.

The two young girls returned home with their meager collection, unaware that a group of people following them were Serre' Datu's entourage in disguise.

 Arriving home, they saw a crowd of people gathered outside their house. Thinking them to be travelers, the girls invited them in. "Gentlemen," they said, "please come in, don't stand outside."

The leader of the group, Serre' Datu, replied, "Thank you for your hospitality. We'll just rest for a while before continuing our journey."

One of the girls offered, "Let us make rice porridge for you before you leave."

Serre' Datu inquired, "Would the 'banni' groats you collected be enough to make porridge for all of us?"

The girl asked, "How many are there in your group?"

Serre' Datu, trying to express their large number, replied, "Three-six, three-seven, ten-seven-nine."

The girl, cleverly interpreting his cryptic answer, said, "So, will there be more of us than grains of rice?"

Touched by the girl's words, Serre' Datu and his group decided to stay. "We will all live together with you two from now on," he declared. The girls were shocked by this unexpected offer.

Serre' Datu continued, outlining a plan. "In three nights, you must perform a thanksgiving ritual. Then, we will all return to our original forms and take our rightful places to live together with you."

He then explained their future roles: "I will be in the kitchen," he said. The valuable objects chimed in, "We will reside in the treasure basket." Likewise, the dogs, chickens, buffalo, pigs, rice, and others designated their future placements.

Soon after,  the group transformed back to their original forms and settled into their designated places, living harmoniously with the two girls. The once-orphaned girls were now wealthy. Eventually, each girl married a son from the neighboring rich family. They lived side by side in their own homes, their wealth steadily increasing. Yet, they remained humble, cherishing their good fortune and taking good care of everything they had.

This story fostered a love and respect for cats, as they were seen as symbols of prosperity.

It became a tradition to chant a phrase in social gatherings: "Cat, the root of your possessions, fill your treasure basket full, call your possessions to come to you, he who calls abundant blessings from all over, from faraway people."

 

Translated from the original Toraja language story, "Uleleanna Serre' Datu," by Pentong - ACT Admin.

Share :



Art-Culture-Tourism.blogspot.com
Copyright © 2008-2024




Feature :



Follow ACT
Follow ACTblog on Twitter Follow AC_Ttoraja on Threads