7.9.19

Cerita Tulang Didi' (Bahasa Indonesia)








Judul Asli                              : Uleleanna Tulang Didi'
by                                            : Drs. J.S. Sande
category                                 : History and Culture


   Ada seorang anak perempuan bernama Tulang Didi’ dan pekerjaannya setiap hari adalah menenun. Dia selalu dimanjakan orang tuanya. Ayah Tulang Didi’ setiap hari pekerjaannya adalah berkebun dan pergi berburu di hutan.


Pada suatu hari Tulang Didi’ menenun, dan ayahnya pergi melihat tanaman padinya di sawah. Tulang Didi’ sedang menenun dengan asiknya di kolong rumah, tiba-tiba datanglah anjing kesayangan ayahnya merusak dan mengotori tenunannya. Tulang Didi’, karena sangat marahnya, dipukullah anjing kesayangan ayahnya dengan Balida’ (batang kayu untuk memadatkan benang pada sebuah alat tenun, biasanya terbuat dari kayu buangin – sejenis cemara) dan anjing itu pun mati. Karena sangat takut akan murka ayahnya, Tulang Didi’ menyembunyikan bangkai anjing itu, menutupinya dengan potongan tikar yang sudah usang di samping rumah.

Ketika ayahnya pulang dari sawah, Tulang Didi’ pura-pura tetap menenun di kolong rumah. Tiba-tiba datang terbang seekor burung gagak di samping rumah sambil mengeluarkan suara, “Kaaak …kaaak gagak …, ada apa di samping rumah dibungkus dan ditutupi tikar usang yang robek.” Ayah Tulang Didi’ yang mendengar suara burung gagak itu, lalu mananyakan hal itu kepada Tulang Didi’.



Tulang Didi’ lalu menjawab, “Ayah, … tadi saat sedang menenun, datang si Bolong (nama anjing ayahnya) merusak dan mengotori kain tenunan saya. Lalu saya pukul dengan Balida’ sampai mati.” Mendengar itu ayahnya sangat marah, saat itu juga ia berkata kepada Tulang Didi’, “Karena engkau sudah membunuh anjing kesayangan ayah maka ayah akan membunuh engkau pula.”

Ketika ayahnya keluar dari rumah hendak membawa Tulang Didi’ untuk dibunuhnya, dengan sembunyi-sembunyi sang Ibu yang sangat menyayangi anak perempuannya itu memberikan sebiji telur ayam dan tiga butir beras kepada Tulang Didi’ sebagai bekal di jalan. Demikianlah Tulang Didi’ lalu mengikut ayahnya ke padang belantara untuk dibunuh. Setelah agak lama berjalan, bertanyalah sang ayah kepada Tulang Didi’ katanya, “Di sinikah tempat yang tepat untuk membunuhmu?” Tulang Didi’ lalu menjawab, “Masih jauh ayah, tempat itu adalah tempat dimana binatang-binatang berkumpul dan burung-burung berkerumun.” Mereka lalu meneruskan perjalanannya lagi dan akhirnya tiba di sebuah bukit yang menjadi tempat orang-orang biasa melakukan persembahan kurban dan menjadi tempat bertengger burung-burung. Tulang Didi’ melihat sebuah sarang burung Tekukur di rumpun-rumpun pohon ilalang, lalu segera meletakkan dengan sembunyi-sembunyi telur ayam dan beras yang diberikan ibunya tadi pada waktu berangkat. Setelah itu ayahnya bertanya lagi, “Di sinikah tempatnya hai Tulang Didi’?” Tulang Didi’ lalu menjawab, “Yah disinilah ayah, laksanakanlah niatmu ayah, dan sekarang aku serahkan diriku untuk dibunuh dan silahkan ayah membunuh aku.” Ayah Tulang Didi’ lalu melakukan niatnya membunuh anaknya di tempat itu, kemudian ia pulang kembali ke rumahnya.

Kira-kira empat minggu kemudian atau dua puluh delapan hari lamanya setelah Tulang Didi’ dibunuh ayahnya, telur ayam yang diletakkan Tulang Didi’ di sarang burung Tekukur menetas dan keluarlah seekor ayam jantan yang biasa disebut dalam bahasa Toraja “Londong”. Londong atau ayam jantan ini makin hari makin bertambah besar sehingga mulai belajar berkokok. Londong tersebut pergi pula mencari makan dan kemudian menemukan ulat Tulang Didi’ berhamburan di tanah. Ia lalu berkokok untuk mengumpulkan ulat-ulat tersebut. Ayam itu berkokok lagi, berturut-turut sambil bersuara, “Kukkua’ …kukkua’, ….. berkumpullah tulang-tulang Tulang Didi’; Kukkua’ …kukkua’ …. berkumpullah daging Tulang Didi’; Kukkua’ … kukkua’ ….. hiduplah kembali hai Tulang Didi’.” Akhirnya Tulang Didi’ hidup kembali karena ayam jantan ini berkokok terus menghidupkan kembali tuannya.

Sumber ilustrasifamindonesia

Tulang Didi’ yang telah hidup kembali, setelah dapat berbicara lalu berkata kepada ayam jantannya, “Sekarang saya telah hidup kembali tetapi tidak ada pakaian dan makanan.” Lalu ayam itu berkokok lagi sehingga lengkaplah segala kebutuhan bagi Tulang Didi’.

Setelah kebutuhan ini sudah mencukupi semuanya dan lengkap adanya lalu Tulang Didi’ berkata pada ayamnya, “Sekarang kita telah kaya, hidup serba cukup tetapi tidak mempunyai rumah, tidak ada tempat untuk berkebun dan mengolah sawah.” Ayam itu lalu berkokok lagi, “Kukkua’ … lengkaplah rumah tuanku Tulang Didi’; Kukkua’ …lengkaplah wilayah kuasa Tulang Didi’.” Semua permohonan Tulang Didi’ terkabul dengan melalui kokok ayam sakti ini.

Akhirnya Tulang Didi’ berkata lagi kepada ayamnya, “Kita ini sudah tidak kurang sesuatu apa, makanan ada, rumah ada, tanah ada, tetapi ada satu lagi yaitu manusia untuk mengisi negeri yang kaya raya ini dan untuk mengolah tanah yang luas ini.” Ayam jantan atau Londong Tulang Didi’ itu berkokok lagi, “Kukkua’ … jadilah  manusia dalam negeri ini.” Pada saat itu terciptalah manusia penduduk negeri yang serba ada itu.



Pada suatu hari ibunda Tulang Didi’ pergi mencari sayuran pakis di dekat muara sungai yang kebetulan alirannya bersumber dari hutan tempat Tulang Didi’ dan ayam jantannya membangun satu negeri yang indah dan lengkap. Dari aliran sungai itu dia melihat gabah-gabah beras yang sedemikian banyak dihanyutkan air sungai ke muara. Melihat kejadian itu, ibu Tulang Didi’ kembali pulang kerumahnya, kepada suaminya ia menceritakan tentang apa yang dilihatnya tadi, bahwa di dalam hutan pasti ada seorang raja yang kaya raya dengan tanahnya yang subur dan luas. Kedua orang itu saling mempercakapkan peristiwa yang aneh tersebut, lalu mereka berkesimpulan untuk pergi melihat dan mencari tahu tempat asal atau sumber daripada gabah-gabah padi yang dihanyutkan air sungai.

Keesokan harinya kedua orang tua ini pergi menelusuri aliran sungai dari hutan itu jauh masuk ke dalam hutan. Ditengah-tengah hutan itu mereka mendengarkan bunyi lesung orang sedang menumbuk padi dengan ramainya. Mereka terus mencari sumber bunyi lesung itu. Akhirnya sampailah mereka di suatu negeri yang indah dengan bangunan rumah-rumah adat yang diukir, lumbung tempat padi yang berjejer beserta masyarakat yang hidup aman dan makmur. Melihat keadaan ini kedua orang tua tersebut menjadi segan untuk masuk bertanya ke dalam halaman rumah sehingga ia terpaksa hanya berjalan di luar pagar halaman rumah. Dari atas rumah Tulang Didi’ melihat kedua orang tuanya itu, lalu disuruhlah hambanya untuk menjemput mereka. Mereka berdua dipersilahkan masuk ke dalam halaman rumah, lalu diterima sebagai tamu di lumbung oleh Tulang Didi’.

Dalam percakapan dengan mereka, Tulang Didi’ masih berusaha untuk menyembunyikan fakta bahwa dia adalah anak mereka, tetapi kedua orang tua itu tetap kukuh bahwa roman muka dari orang yang diajak mereka berbicara sangat mirip dengan anak mereka yakni Tulang Didi’.

Pada akhirnya, Tulang Didi’ mengaku dan berkata, “Akulah Tulang Didi’ yang kamu bunuh di padang belantara oleh karena membunuh anjing kesayanganmu yang bernama  Bolong, dan saya hidup kembali oleh karena telur ayam yang diberikan Ibundaku menetaskan seekor ayam jantan. Ayam jantan inilah yang berbunyi dan berkokok menghimpun seluruh tulang-tulangku, daging-dagingku yang sudah berhamburan untuk dihidupkan kembali.” Mulai pada waktu itu mereka hidup bersama dalam negeri yang indah itu dengan bahagia, aman dan makmur sebab segala kebutuhan serba lengkap.

Pada suatu hari Tulang Didi’ akan mengadakan pesta pengucapan syukur. Dia dan rakyatnya mulai mempersiapkan segala sesuatunya karena pesta adat ini adalah pesta yang dianggap paling mulia dan paling tinggi.

Rakyat di dalam negeri itu masing-masing melaksanakan pembagian tugasnya sesuai dengan perintah dari tuannya. Perempuan-perempuan dan gadis-gadis yang masih remaja menumbuk padi dengan alunan bunyi lesung yang sangat ramai sebagaimana lazimnya di kampung-kampung. Tiba-tiba ayam jantan kesayangan Tulang Didi’ ini pergi ke dekat lesung memakan beras, lalu seorang yang bekerja di situ langsung memukulnya dengan nyiru.



Londong atau ayam jantan ini lalu pergi mendapati tuannya, dan berkata, “Saya telah dipukul oleh orang yang bekerja  di tempat menumbuk padi, sekarang saya mohon izin untuk  pergi dari sini.” Tulang Didi’ kemudian menjawab, “Kalau demikian keinginanmu saya juga akan turut pergi mengikut engkau, kemana pun engkau pergi saya akan ikut.”

Tulang Didi’ dan ayam jantannya kemudian memohon izin kepada kedua orang tuanya sambil berpesan, “Sekarang saya dan ayam kesayanganku akan pergi, Ayah dan Ibu tidak perlu lagi bersusah karena semuanya telah sedia dan lengkap. Jika Ayah dan Ibu rindu padaku tengoklah anakmu bersama ayam kesayangannya di bulan dan sekarang izinkanlah kami berangkat.”

Ayam jantan itu dengan tangkasnya terbang menuju ke bulan dan Tulang Didi’ berpegang pada jalu atau susuh kaki ayam itu. Itulah sebabnya jika bulan purnama nampaklah bayangan seperti manusia di dalam bulan dan menurut orang Toraja itulah Tulang Didi’ dengan ayamnya yang sudah menjadi dewi bulan.

Mengenai Ayah dan Ibunya serta semua penghuni negeri tinggallah di bumi dan itulah yang berkembang dan menjadi leluhur manusia toraja yang ada sekarang.

Demikianlah cerita Tulang Didi’ ini.


Share :

3.9.19

Uleleanna Tulang Didi' (Bahasa Toraja)







Judul Asli                              : Uleleanna Tulang Didi'
by                                            : Drs. J.S. Sande
category                                 : History and Culture



   Den misa’ pia baine disanga Tulang Didi’. Iate Tulang Didi’ manarang ma’tannun. Iatu Tulang Didi’ napakaboro’bang tomatuanna. Ambe’na Tulang Didi’ birisan lako padang sia pangngula’ bai ala’ tama pangngala’. Iatu ambe’na Tulang Didi’ umpatuo misa’ asu bolong. Iatu asunna susi tau.

Denmi sangngallo ma’tannunmi tu  Tulang Didi’, naia tu ambe’na male untiro parena lako padang. Iatonna marassan ma’tannun tu Tulang Didi’ lan bala (sulluk banua), saemi tu asu bolong ussalangka-langka tannunna Tulang Didi’, nasambakkimi balida tu asu namate. Belanna mataku’ lako ambe’na tu Tulang Didi’ nasamboimi sareale dio la’pek banua.

Iatonna sulemo tu ambe’na Tulang Didi’ untiro parena, marassambang tu Tulang Didi’ ma’tannun lan sulluk banua. Pakalan anna saemo tu kadoya dio la’pek banua ma’kaak-kaak nakua, “Kaak …kaak kadoya …. ba’tu apa dio la’pek banua disamboi sareale ditilanni sare ampa’.” Narangngimi ambe’na Tulang Didi’ namebali nakua, “Apamo ade’to Tulang Didi’.”



Ma’kadami tu Tulang Didi’ lan mai sulluk banua nakua, “Ladipatumbari ia ambe’ anna bolong tu kusambakki balida ina’ namate.” Sengkemi tu ambe’na Tulang Didi’ nakua, “Asu tangkumasean penaa tu, totemo laku pasipuli’ko tu bolong.” Iatonna laumpatei ambe’na tu Tulang Didi’ na alanni indo’na tallo’ manuk misa’ na pakinalloanni sola barra’ tallung lise’. 

Susito malemi nasolan ambe’na tu Tulang Didi’ lana patei dio tangnga padang. Tonna malilumo tu ambe’na lumingka mekutanami lako Tulang Didi’ nakua, “Umbara nani lakuni umpateiko? iamoraka indete?” Nakuami tu Tulang Didi’, “Mambelapa  ambe’ tu kasirampunanna olo’-olo’ tu kasiunduanna bu’ku’-bu’ku’.” Iatonna lambi’mi tu misa’ tanete inan pemalaran nakitta’mi Tulang Didi’ tu serang bu’ku’ napessisiran bunimi Tulang Didi’ tu tallo’ manukna rokko to’ serang bu’ku’ lan to’ garonto’ botto’, namane mekutana tu ambe’na nakua , “Iamoraka te tu lakuni umpateiko?” mebalimi tu Tulang Didi’ nakua, “Iamo te ambe’, pogau’mi tu pa’porannuanmi.” Napateimi ambe’na tu Tulang Didi’ indeto tanete iato.  Tonna matemo tu Tulang Didi’, sulemi tu ambe’na lako banua. 

Umbai patang pasa’ mangkanna napatei ambe’na tu Tulang Didi’, ma’tesseimi tu bu’ku’, natessei duka tu tallo’ manuk napopentiola Tulang Didi’, undadian misa’ manuk “londong”. Iate Londong sia kasalle-sallena sia kinaa-naanna duka ia . Tonna randukmo unnoni, denmi pissan namale undaka’ batik lako tu dininna unpatei Tulang Didi’. Nakitta’mi tu ulli’ Tulang Didi’ tisambo’-sambo’. Unnonimi tinde Londong nakua, “Sirampunko ulli’na Tulang Didi’.” Sirampunmi sae tu ulli’na Tulang Didi’. Natolei unnoni tu londong nakua , “Sirampunko bukunna Tulang Didi’. Sirampun omi sae tu bukunna Tulang Didi’. Namane untolei unnoni tu londong nakua, “Sirampunko duku’na Tulang Didi’.” Sirampun omi sae tu duku’na Tulang Didi’, nama’katampakanna unnoni tu londong nakua, “Tuoko sule Tulang Didi’.” Sae lako tuo tongan sule tu Tulang Didi’.

Sumber Ilustrasi:  news.ddtc.co.id

Iatonna tuomo sule tu Tulang Didi’ nakuami lako manuk londongna, “Tuomo’ dikka’ apa tae’mo pakeanku.” Natolemi unnoni tu londong nakua, “Saeko pakeanna Tulang Didi’.” Saemi tu pakean sanda rupanna lanapake Tulang Didi’.

Tonna ganna’mo tu pakeanna Tulang Didi’, ma’kadaomi tu Tulang Didi’ nakua, “Denmo tu pakean apa tae’mo tu ladikandena.” Unnoniomi tu londongna nakua, “Saekeo kande sanda rupanna.” Mangkato nakuami Tulang Didi’, “Ganna’mo sae tu ladikandena, apa tae’omira tu banua ladinii umpatuo rambu.” Unnoniomi tu londongna nakua, “Saeko banua sakka’ parena,” saemi tu banua sibaa alang ponno pare dao. Iatonna ganna’mo katuoanna tu Tulang Didi’, nakuami Tulang Didi’ lako londongna, “Sakka’mo rupanna tu ladi potuonna, sugi’ moki’, apa tae’mira tu tau laumpengkaranganki’.

Natolemi tu londongna unnoni nakua, “Saeko ma’rupa tau.” Iatonna mangkamo unnoni, saemi tu tau ba’tu pira-pira lanasua mengkarang dio padang sia dio banua.

Tonna dadi nasangmo, ganna’mo sia sundunmo tu katuoanna Tulang Didi’, budamo kaunanna. Iatu tau allo-allo bangmo mengkarang sia ma’lambuk lan tu tangnga pangngala’ nanii Tulang Didi’.



Pakalan denmi sangngallo, malemi tu indo’na Tulang Didi’ undaka’ utan paku lako randan salu sikandappi’ pangngala’ nanii Tulang Didi’. Natiromi tu ta’pian nabaa wai lanmai pangngala’. Mangngami tu indo’na Tulang Didi’ untiroi kumua nadenno ia ta’pian nabaa uai  lammai pangngala’. Sulemi tu indo’na Tulang Didi’ lako banua umpokadanni ambe’na kumua den ia ta’pian nabaa uai lanmai pangngala’. Tonna mangkamo indo’na Tulang Didi’ ungkuanni, sipa’kada-kadami sola duai nakua tamale umpellambi’i, ba’tindamo ia tu buda parena lan pangngala’, tantuya to sugi’to. Malemi sola duai urrundunanni tu salu nanii tassu’ ta’pian lanmai pangngala’. Pakalan anna tiallingmo narangngi sola duai tu toma’lambuk. Tonna rampomo tama to’ luba’ba (paladan) sola duai, makalidikmi kalena untiroi banua sola alang sura’ sia iatu mintu’ tomengkarang lendu’ ia budanna. Iatonna tiromi Tulang Didi’ bendan dio to’ babangan nasuami tu tau lalo  untammui  anna disua unno’ko’ dao alang dadi toratu. Tae’ anna ta’de dio pentirona Tulang Didi’ tu rupanna ambe’na sola indo’na, susi dukato tu tau sola duai simpolo tilantak diong penaanna tu rupanna Tulang Didi’. Tonna sipa’kada-kadamo Tulang Didi’  tu toratunna soladuai, nabuni bangmi kaunanna kumua tangngia ia Tulang Didi’. Ma’pentallunnari namane mangngaku tu Tulang Didi’ nakua, “Akumo Tulang Didi’ tumangka mipatei lan pangngala’, tumipasipuli’ asu bolong. Iari kutuo sule, iari tu tallo’ manuk napakinalloanna’ indo’ku umpatuona’ sule.”

Iatonna makaroenmo diposaranmi ma’rupa-rupa kande melo, ditunuan tedong, bai, manuk sia mintu’-mintu’na kande melo tongan. Randuk allo iato, iatu tomatuanna torromo ia sola Tulang Didi’, manamanmo katuoanna, belanna napapa’kannimo ia Tulang Didi’ tu pandarananna indo’na sola ambe’na.



Apa den pissan nalama’marua’-rua’ tu Tulang Didi’ laumpogau’ sara’. Mengkarangmi tu kaunanna, sia ma’lambuk, pandolo-dolomi te londongna Tulang Didi’, dio to’ issong, nasambakkimi barang toma’lambuk. Sengkemi te londong lako Puangna (Tulang Didi’) nakua, “Mangkana’ nasambakki barang to ma’lambuk lan to’ issong, lamalemo’ aku.” Nakuami Tulang Didi’, “Umba-umba munii male ia duka lakunii male unnula’ko.”

Mentia’mi te londongna Tulang Didi’ langngan langi’, na iatu Tulang Didi’ undi dio to’ tarana namale tama Bulan dao langi’. Iatonna lamalemo nakuami lako tomatuanna sola duai kumua, “Iake mamali’komi tirobangmokan lan bulan sola londongku.”

Tulang Didi’ mora sola manukna tu Kanaan lan bulan tu ditiro ke bulan melo (bulan taro-taro). Susito torromi ia tu Tulang Didi’ dao bulan sola londongna, naia tu pa’kurinanna (kaunanna), ambe’na sola indo’na torromo lan lino, iamo tu memba’ka’ sae lako totemo.



Share :

Art-Culture-Tourism.blogspot.com

Copyright © 2008-2023



Feature :
Ticket search
Hotel search

Follow ACT
Follow ACTblog on Twitter Instagram