Pada
suatu hari Tulang Didi’ menenun, dan ayahnya pergi melihat tanaman padinya di
sawah. Tulang Didi’ sedang menenun dengan asiknya di kolong rumah, tiba-tiba
datanglah anjing kesayangan ayahnya merusak dan mengotori tenunannya. Tulang
Didi’, karena sangat marahnya, dipukullah anjing kesayangan ayahnya dengan Balida’
(batang kayu untuk memadatkan benang pada sebuah alat tenun, biasanya terbuat
dari kayu buangin – sejenis cemara) dan anjing itu pun mati. Karena sangat
takut akan murka ayahnya, Tulang Didi’ menyembunyikan bangkai anjing itu, menutupinya
dengan potongan tikar yang sudah usang di samping rumah.
Ketika
ayahnya pulang dari sawah, Tulang Didi’ pura-pura tetap menenun di kolong
rumah. Tiba-tiba datang terbang seekor burung gagak di samping rumah sambil
mengeluarkan suara, “Kaaak …kaaak gagak …, ada apa di samping rumah dibungkus
dan ditutupi tikar usang yang robek.” Ayah Tulang Didi’ yang mendengar suara
burung gagak itu, lalu mananyakan hal itu kepada Tulang Didi’.
Tulang
Didi’ lalu menjawab, “Ayah, … tadi saat sedang menenun, datang si Bolong (nama
anjing ayahnya) merusak dan mengotori kain tenunan saya. Lalu saya pukul dengan
Balida’ sampai mati.” Mendengar itu ayahnya sangat marah, saat itu juga ia
berkata kepada Tulang Didi’, “Karena engkau sudah membunuh anjing kesayangan
ayah maka ayah akan membunuh engkau pula.”
Ketika
ayahnya keluar dari rumah hendak membawa Tulang Didi’ untuk dibunuhnya, dengan
sembunyi-sembunyi sang Ibu yang sangat menyayangi anak perempuannya itu
memberikan sebiji telur ayam dan tiga butir beras kepada Tulang Didi’ sebagai
bekal di jalan. Demikianlah Tulang Didi’ lalu mengikut ayahnya ke padang
belantara untuk dibunuh. Setelah agak lama berjalan, bertanyalah sang ayah
kepada Tulang Didi’ katanya, “Di sinikah tempat yang tepat untuk membunuhmu?”
Tulang Didi’ lalu menjawab, “Masih jauh ayah, tempat itu adalah tempat dimana
binatang-binatang berkumpul dan burung-burung berkerumun.” Mereka lalu
meneruskan perjalanannya lagi dan akhirnya tiba di sebuah bukit yang menjadi
tempat orang-orang biasa melakukan persembahan kurban dan menjadi tempat
bertengger burung-burung. Tulang Didi’ melihat sebuah sarang burung Tekukur di
rumpun-rumpun pohon ilalang, lalu segera meletakkan dengan sembunyi-sembunyi
telur ayam dan beras yang diberikan ibunya tadi pada waktu berangkat. Setelah
itu ayahnya bertanya lagi, “Di sinikah tempatnya hai Tulang Didi’?” Tulang Didi’
lalu menjawab, “Yah disinilah ayah, laksanakanlah niatmu ayah, dan sekarang aku
serahkan diriku untuk dibunuh dan silahkan ayah membunuh aku.” Ayah Tulang Didi’
lalu melakukan niatnya membunuh anaknya di tempat itu, kemudian ia pulang
kembali ke rumahnya.
Kira-kira
empat minggu kemudian atau dua puluh delapan hari lamanya setelah Tulang Didi’ dibunuh
ayahnya, telur ayam yang diletakkan Tulang Didi’ di sarang burung Tekukur
menetas dan keluarlah seekor ayam jantan yang biasa disebut dalam bahasa Toraja
“Londong”. Londong atau ayam jantan ini makin hari makin bertambah besar
sehingga mulai belajar berkokok. Londong tersebut pergi pula mencari makan dan
kemudian menemukan ulat Tulang Didi’ berhamburan di tanah. Ia lalu berkokok
untuk mengumpulkan ulat-ulat tersebut. Ayam itu berkokok lagi, berturut-turut
sambil bersuara, “Kukkua’ …kukkua’, ….. berkumpullah tulang-tulang Tulang Didi’;
Kukkua’ …kukkua’ …. berkumpullah daging Tulang Didi’; Kukkua’ … kukkua’ ….. hiduplah
kembali hai Tulang Didi’.” Akhirnya Tulang Didi’
hidup kembali karena ayam jantan ini berkokok terus menghidupkan kembali
tuannya.
Tulang
Didi’ yang telah hidup kembali, setelah dapat berbicara lalu berkata kepada
ayam jantannya, “Sekarang saya telah hidup kembali tetapi tidak ada pakaian dan
makanan.” Lalu ayam itu berkokok lagi sehingga lengkaplah segala kebutuhan bagi
Tulang Didi’.
Setelah
kebutuhan ini sudah mencukupi semuanya dan lengkap adanya lalu Tulang Didi’
berkata pada ayamnya, “Sekarang kita telah kaya, hidup serba cukup tetapi tidak
mempunyai rumah, tidak ada tempat untuk berkebun dan mengolah sawah.” Ayam itu
lalu berkokok lagi, “Kukkua’ … lengkaplah rumah tuanku Tulang Didi’; Kukkua’ …lengkaplah
wilayah kuasa Tulang Didi’.” Semua permohonan Tulang Didi’ terkabul dengan
melalui kokok ayam sakti ini.
Akhirnya
Tulang Didi’ berkata lagi kepada ayamnya, “Kita ini sudah tidak kurang sesuatu
apa, makanan ada, rumah ada, tanah ada, tetapi ada satu lagi yaitu manusia
untuk mengisi negeri yang kaya raya ini dan untuk mengolah tanah yang luas ini.”
Ayam jantan atau Londong Tulang Didi’ itu berkokok lagi, “Kukkua’ …
jadilah manusia dalam negeri ini.” Pada
saat itu terciptalah manusia penduduk negeri yang serba ada itu.
Pada
suatu hari ibunda Tulang Didi’ pergi mencari sayuran pakis di dekat muara
sungai yang kebetulan alirannya bersumber dari hutan tempat Tulang Didi’ dan ayam
jantannya membangun satu negeri yang indah dan lengkap. Dari aliran sungai itu
dia melihat gabah-gabah beras yang sedemikian banyak dihanyutkan air sungai ke
muara. Melihat kejadian itu, ibu Tulang Didi’ kembali pulang kerumahnya, kepada
suaminya ia menceritakan tentang apa yang dilihatnya tadi, bahwa di dalam hutan
pasti ada seorang raja yang kaya raya dengan tanahnya yang subur dan luas.
Kedua orang itu saling mempercakapkan peristiwa yang aneh tersebut, lalu mereka
berkesimpulan untuk pergi melihat dan mencari tahu tempat asal atau sumber
daripada gabah-gabah padi yang dihanyutkan air sungai.
Keesokan
harinya kedua orang tua ini pergi menelusuri aliran sungai dari hutan itu jauh
masuk ke dalam hutan. Ditengah-tengah hutan itu mereka mendengarkan bunyi
lesung orang sedang menumbuk padi dengan ramainya. Mereka terus mencari sumber
bunyi lesung itu. Akhirnya sampailah mereka di suatu negeri yang indah dengan
bangunan rumah-rumah adat yang diukir, lumbung tempat padi yang berjejer
beserta masyarakat yang hidup aman dan makmur. Melihat keadaan ini kedua orang
tua tersebut menjadi segan untuk masuk bertanya ke dalam halaman rumah sehingga
ia terpaksa hanya berjalan di luar pagar halaman rumah. Dari atas rumah Tulang
Didi’ melihat kedua orang tuanya itu, lalu disuruhlah hambanya untuk menjemput
mereka. Mereka berdua dipersilahkan masuk ke dalam halaman rumah, lalu diterima
sebagai tamu di lumbung oleh Tulang Didi’.
Dalam
percakapan dengan mereka, Tulang Didi’ masih berusaha untuk menyembunyikan
fakta bahwa dia adalah anak mereka, tetapi kedua orang tua itu tetap kukuh
bahwa roman muka dari orang yang diajak mereka berbicara sangat mirip dengan
anak mereka yakni Tulang Didi’.
Pada
akhirnya, Tulang Didi’ mengaku dan berkata, “Akulah Tulang Didi’ yang kamu
bunuh di padang belantara oleh karena membunuh anjing kesayanganmu yang
bernama Bolong, dan saya hidup kembali
oleh karena telur ayam yang diberikan Ibundaku menetaskan seekor ayam jantan.
Ayam jantan inilah yang berbunyi dan berkokok menghimpun seluruh
tulang-tulangku, daging-dagingku yang sudah berhamburan untuk dihidupkan
kembali.” Mulai pada waktu itu mereka hidup bersama dalam negeri yang indah itu
dengan bahagia, aman dan makmur sebab segala kebutuhan serba lengkap.
Pada
suatu hari Tulang Didi’ akan mengadakan pesta pengucapan syukur. Dia dan
rakyatnya mulai mempersiapkan segala sesuatunya karena pesta adat ini adalah
pesta yang dianggap paling mulia dan paling tinggi.
Rakyat
di dalam negeri itu masing-masing melaksanakan pembagian tugasnya sesuai dengan
perintah dari tuannya. Perempuan-perempuan dan gadis-gadis yang masih remaja
menumbuk padi dengan alunan bunyi lesung yang sangat ramai sebagaimana lazimnya
di kampung-kampung. Tiba-tiba ayam jantan kesayangan Tulang Didi’ ini pergi ke
dekat lesung memakan beras, lalu seorang yang bekerja di situ langsung
memukulnya dengan nyiru.
Londong
atau ayam jantan ini lalu pergi mendapati tuannya, dan berkata, “Saya telah
dipukul oleh orang yang bekerja di
tempat menumbuk padi, sekarang saya mohon izin untuk pergi dari sini.” Tulang Didi’ kemudian
menjawab, “Kalau demikian keinginanmu saya juga akan turut pergi mengikut
engkau, kemana pun engkau pergi saya akan ikut.”
Tulang
Didi’ dan ayam jantannya kemudian memohon izin kepada kedua orang tuanya sambil
berpesan, “Sekarang saya dan ayam kesayanganku akan pergi, Ayah dan Ibu tidak
perlu lagi bersusah karena semuanya telah sedia dan lengkap. Jika Ayah dan Ibu
rindu padaku tengoklah anakmu bersama ayam kesayangannya di bulan dan sekarang
izinkanlah kami berangkat.”
Ayam
jantan itu dengan tangkasnya terbang menuju ke bulan dan Tulang Didi’ berpegang
pada jalu atau susuh kaki ayam itu. Itulah sebabnya jika bulan purnama
nampaklah bayangan seperti manusia di dalam bulan dan menurut orang Toraja
itulah Tulang Didi’ dengan ayamnya yang sudah menjadi dewi bulan.
Mengenai
Ayah dan Ibunya serta semua penghuni negeri tinggallah di bumi dan itulah yang
berkembang dan menjadi leluhur manusia toraja yang ada sekarang.
Demikianlah
cerita Tulang Didi’ ini.
History and Culture
Art Of Toraja
Travel and Tourism
Photos
Maps